Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang
memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti
mereka hingga akhir zaman. Manusia di berbagai negeri sangat antusias
menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun
sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian
tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai
perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan?
Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM
(sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai
kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional
Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain
kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli
astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu
dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan
orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung
sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun
45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga
memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada
bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam
kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM,
dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau
Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius
Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai
dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun
baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak
dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan
tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan
‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (‘ied) kaum muslimin ada dua yaitu
‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ
فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ
أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ
الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan
Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan,
‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang
Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu
hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]
Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (‘ied) di tengah kaum
muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar
meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini
adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar
perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan
sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum
muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul
Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts
‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
- Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
- Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
- Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
- Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
- Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau
golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang
terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari
kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu
termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di
samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang
lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena
menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang
karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh
(Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah
mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia,
Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam
berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ
قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ
أُولَئِكَ »
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi
sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu
ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
“Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?”
Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ
وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ
لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika
orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh
lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para
sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu
adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa
lagi?” [5]
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas
menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibrdziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang
hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku
kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni.
Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai
penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah
suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi
saat-saat ini.”[6] (sejengkal)
dan
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat
ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin,
sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun
diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian
dari mereka.” [7]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian,
penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil
Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang
Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang
kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara
orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada
malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia,
mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid.
Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada
manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh.
Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa
tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual
kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika
itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan
meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru
diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir.
Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu
Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai
tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang
melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu
Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ
الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah
menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka
tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup.
Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan
Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir
dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim
memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini
tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi
ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang
kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang
diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah
memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti
mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau
dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau
memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun
dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari
raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat
atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini
lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih
dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang
yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat
pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut.
Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang
mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada
seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas
mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat
Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk
menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini
diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari,
kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang
kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak
mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi
hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah
kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi
min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu
bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa
itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin
tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib
(shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar
dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain,
zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan
mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia
dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang
mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar.
Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti
orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput
darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya
sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat.
Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi,
celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan
kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu.
Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا
فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat.
Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13] Oleh
karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru
sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput
dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14]
Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari
oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena
bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga
malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut
namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan
mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini
adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya
sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ
قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum
shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau
sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput
dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah
memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan,
“Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam
tertidur lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan
dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun
baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath(campur baur
antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin
lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan.
Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai
larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di
malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi.
Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan
telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ
مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى
وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini
suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah
dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah
dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina
kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan
berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau
mengingkari yang demikian.”[17]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan,
terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu
kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu
orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal
mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak
mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah
dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya
dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al
Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti
walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan
yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja
dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan
perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan
Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam
waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang
pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala
hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru
sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang
yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap
orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah
sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta
yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan,
kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb.
Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ
الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.”
(Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap
boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan
demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal
ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah
menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan,
“Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang
benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang
menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang
keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan,
“Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam
berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk
berbuat kerusakan.”[20]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu
Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu
sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal
yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal
yang tidak bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian
yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun
sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa)
menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu
akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat.
Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan
penghuninya.”[22]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang
telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan
tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan
ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya.
Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah
cela. Allah Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ
النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup
untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang
kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah
mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil
yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari
menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru.
Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan
satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim
tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya
merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang
bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan
banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang
sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan
berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia.
Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih
baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah
semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan
seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah
keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah
petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku
masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar