Minggu, 13 Mei 2012

MAKALAH KN (MAHKAMAH INTERNASIONAL)


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Dalam interaksi konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Sengketa adalah adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara dua bangsa yang berbeda. Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik.
Pasal 2 (3) Piagam PBB menetukan bahwa segenap anggota PBB harus menyelesaikan sengketa internasional dengan jalan damai dan mempergunakan cara-cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, serta keadilan tidak terancam. Ada dua cara untuk menyelesaikan sengketa internasional, yaitu:
1.     Perjanjian antara dua pihak yang bersengketa dan,
2.     Keputusan badan peradilan.
Dikarenakan peran Mahkamah Internasional begitu penting dalam penyelesaian sengketa internasional, maka penulis akan memaparkan lebih jauh mengenai Mahakamah Internasional.
B.   Rumusan Masalah
1.     Bagaimana sejarah berdirinya Mahkamah Internasional ?
2.     Bagaimana komposisi Mahkamah Internasional ?
3.     Bagaimana Peranan Mahkamah Internasional ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional adalah badan perlengkapan PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Mahkamah Internasional merupakan mahkamah pengadilan tertinggi di seluruh dunia. Oleh karena itu, Mahkamah Internasional memiliki peran dalam mengadili perselisihan kepentingan dan hukum antara Negara-negara di dunia.
B.   Sejarah dan Latar Belakang Dibentuknya Mahkamah Internasional
 Salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara hukum atau 'judicial settlement' dalam hukum internasional adalah penyelesaian melalui badan peradilan internasional. Dalam hukum internasional, penyelesaian secara hukum dewasa ini dapat ditempuh melalui berbagai cara atau lembaga, yakni: Permanent Court of International of Justice (PCIJ atau Mahkamah Permanen Internasional), International Court of Justice (ICJ atau Mahkamah Internasional), the International Tribunal for the Law of the Sea (Konvensi Hukum Laut 1982), atau International Criminal Court(ICC).
PCIJ pendahulu Mahkamah Internasional (ICJ), dibentuk berdasarkan pasal XIV Kovenan Liga Bangsa-bangsa (LBB) pada tahun 1922. Badan LBB yang membantu berdirinya PCIJ adalah Dewan (Council) LBB. Dalam sidangnya pada awal 1920, Dewan menunjuk suatu Advisory Committee of Jurists untuk membuat laporan mengenai rencana pembentukan PCIJ. Komisi yang berkedudukan di Den Haag dipimpin oleh Baron Descamps dari Belgia. Pada bulan Agustus 1920, Descamps mengeluarkan dan menyerahkan laporan mengenai rancangan pembentukan PCIJ kepada Dewan.
Dalam pembahasan di Dewan, Rancangan tersebut mengalami perubahan-perubahan. Rancangan tersebut pada akhirnya berhasil dirumuskan menjadi Statuta yang mendirikan PCIJ pada tahun 1922. Dua masalah yang timbul pada waktu itu adalah bagaimana memilih hakim dan di mana tempat kedudukan PCIJ. Hasil rancangan Statuta Baron Descamps pada waktu itu telah berpikir jauh ke depan (dan sekarang masih digunakan). Rancangan Descamps yaitu bahwa hakim-hakim yang dipilih harus mewakili peradaban dan sistem hukum di dunia.
Masalah tempat kedudukan PCIJ berhasil dipecahkan berkat inisiatif dan pendekatan pemerintah Belanda pada tahun 1919. Belanda melobi agar tempat kedudukan PCIJ berada di Belanda. Upaya ini berhasil sehingga pada waktu berlangsungnya pembahasan ini, disepakati bahwa kedudukan tetap PCIJ adalah di Peace Palace (Istana Perdamaian), Den Haag. Sidang pertama Mahkamah berlangsung pada tanggal 15 Februari 1922. Persidangan dipimpin oleh ahli hukum Belanda Loder, yang pada waktu itu diangkat sebagai Presiden PCIJ pertama.
Sebagai badan peradilan internasional, PCIJ diakui sebagai suatu peradilan yang memainkan peranan penting dalam sejarah penyelesaian sengketa internasional. Arti peran PCIJ tampak sebagai berikut:
1.   PCIJ merupakan suatu badan peradilan permanen yang diatur oleh Statuta dan Rules of Procedure-nya yang telah ada dan mengikat para pihak yang menyerahkan sengketanya kepada PCIJ.
2.   PCIJ memiliki suatu badan kelengkapan yaitu Registry (pendaftar) permanen yang, antara lain, bertugas menjadi penghubung komunikasi antara pemerintah dan badan-badan atau organisasi internasional.
3.  Sebagai badan peradilan, PCIJ telah menyelesaikan berbagai sengketa yang putusannya memiliki nilai penting dalam mengembangkan hukum internasional. Dari tahun 1922 sampai 1940, PCIJ menangani 29 kasus. Beberapa ratus perjanjian dan konvensi memuat klausul penyerahan sengketa kepada PCIJ.
4.  Negara-negara telah memanfaatkan badan peradilan ini dengan cara menundukkan dirinya terhadap jurisdiksi PCIJ.
5.   PCIJ memiliki kompetensi untuk memberikan nasihat hukum terhadap masalah atau sengketa hukum yang diserahkan oleh Dewan atau Majelis LBB. Selama berdiri, PCIJ telah mengeluarkan 27 nasihat hukum yang berupa penjelasan terhadap aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum internasional.
6.   Statuta PCIJ menetapkan berbagai sumber hukum yang dapat digunakannya terhadap pokok perkara yang diserahkan kepadanya termasuk masalah-masalah yang meminta nasihat hukum. PCIJ antara lain diberi wewenang untuk menerapkan prinsip ex aequo et bono apabila para pihak menghendakinya.
7.   PCIJ memiliki lebih banyak perwakilan (anggota) baik dari jumlah maupun sistem hukum yang terwakili di dalamnya.
Pecahnya Perang Dunia II di bulan September 1939 telah berakibat serius terhadap PCIJ. Pecahnya perang ini secara politis telah menghentikan kegiatan-kegiatan Mahkamah. Terjadinya peperangan yang terus berkelanjutan ini bahkan telah membuat PCIJ menjadi bubar. Pada tahun 1942, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan rekannya dari Inggris menyatakan kesepakatan untuk mengaktifkan dan membentuk kembali suatu mahkamah internasional. Pada tahun 1943, pemerintah Inggris mengambil inisiatif dengan mengundang para ahli ke London untuk mengkaji masalah tersebut. Pertemuan ini yang membentuk suatu komisi, yaitu ’Inter-Allied Committee' yang dipimpin oleh Sir William Malkin berkebangsaan Inggris. Komisi berhasil mengeluarkan laporannya pada tanggal 10 Februari 1944. Laporan tersebut membuat antara lain beberapa rekomenasi sebagai berikut:
1). Bahwa perlu dibentuk suatu mahkamah internasional baru denganstatuta yang mendasarkan pada Statuta PCIJ ;
2). Bahwa mahkamah baru tersebut harus memiliki jurisdiksi untuk memberikan nasihat;
3). Bahwa mahkamah baru tersebut tidak boleh memiliki jurisdiksi memaksa (compulsory jurisdiction)
Setelah berbagai pertemuan dan pembahasan mengenai pembentukan suatu mahkamah baru, akhirnya kesepakatan berhasil tercapai pada konperensi San Fransisco pada tahun 1945. Konperensi ini memutuskan, antara lain, bahwa suatu badan Mahkamah Internasional baru akan dibentuk dan badan ini merupakan badan hukum utama PBB. Kedudukan badan ini sejajar atau sama dengan Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwakilan, dan Sekretariat. Keputusan tersebut antara lain menyatakan: ‘to create an international court of justice which would in law be a new entity, and not a continuation of the existing permanent Court'.
 Badan peradilan tersebut haruslah: ‘a new court, with a separate and independent jurisdiction to apply in the relation between the parties to the Statute of that new Court. Diputuskan pula bahwa Statuta Mahkamah merupakan lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan dengan piagam PBB. Alasan utama konperensi tersebut memutuskan untuk membentuk suatu badan peradilan baru adalah
1). Karena Mahkamah tersebut akan merupakan badan hukum utama PBB, maka dirasakan kurang tepat peranannya tersebut diisi oleh PCIJ yang pada waktu itu (tahun 1945) sudah tidak aktif lagi.
2). Pembentukan suatu Mahkamah baru lebih konsisten dengan ketentuan Piagam bahwa semua anggota PBB adalah ipso facto juga anggota Statuta Mahkamah.
3).  Beberapa negara yang merupakan peserta pada Statuta PCIJ tidak ikut dalam konperensi San Fransisco dan sebaliknya beberapa negara yang ikut dalam konperensi bukanlah peserta pada Statuta PCIJ.
Text Box: 54). Terdapat perasaan dari seperempat anggota peserta konperensi pada waktu itu bahwa PCIJ merupakan bagian dari orde lama, yaitu di mana negara-negara Eropa mendominasi secara politis dan hukum masyarakat internasional dan bahwa pembentukan suatu mahkamah baru akan memudahkan bagi negara-negara di luar Eropa untuk memainkan peranan yang lebih berpengaruh. Hal ini tampak nyata dari keanggotaan PBB yang berkembang dari 51 di tahun 1945 menjadi 159 di tahun 1985.
Konferensi San Fransisco menyadari bahwa kelanjutan dari praktek dan pengalaman lama PCIJ, khususnya Statutanya telah berjalan dengan baik. Karena itulah pasal 92 Piagam PBB dengan tegas menyatakan bahwa Statuta ICJ merupakan pengambil-operan dari Statuta PCIJ. PCIJ bersidang terakhir kalinya pada bulan Oktober 1945. Sidang ini memutuskan untuk mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengalihkan arsip-arsip dan harta benda PCIJ kepada ICJ baru yang juga akan berkedudukan di Peace Palace (Istana Perdamaian) di Den Haag, Belanda. Sidang hakim PCIJ pertama kali berlangsung pada tanggal 5 Februari 1946 bersamaan waktunya ketika sidang pertama Majelis Umum PBB berlangsung.
Bulan April 1946, PCIJ secara resmi berakhir. Pada pertemuan pertama ICJ berhasil dipilih presiden pertama ICJ yaitu Hakim Querrero, yang juga adalah presiden terakhir PCIJ. Pertemuan juga memilih anggota-anggota Registry yang kebanyakan berasal dari PCIJ dan mengadakan acara peresmiannya pada tanggal 18 April 1946. Dalam pasal 92 Piagam, status hukum ICJ secara tegas dinyatakan sebagai badan peradilan utama PBB. Di samping ICJ, ada pula badan-badan peradilan lain dalam PBB, yaitu the UN Administrative Tribunal. Badan ini berfungsi sebagai badan peradilan yang menangani sengketa-sengketa administratif atau ketata-usahaan antara pegawai PBB. Status badan ini disebut sebagai ‘a subsidiary judicial organ’ atau badan pengadilan subsider (tambahan). \


C.   Komposisi  Mahkamah Internasional
1.     Hakim Mahkamah Internasional
  • Mahkamah Internasional terdiri dari 15 orang hakim. Mereka dipilih berdasarkan suara mayoritas mutlak dalam suatu pertemuan secara bersamaan tetapi terpisah di Dewan Keamanan dan Majelis Umum (Pasal 4 Statuta). Calon hakim harus dinominasikan oleh kelompok negara yang khusus ditunjuk untuk itu (diusulkan kelompok negara yang khusus ditugaskan untuk itu).
  • Calon hakim tersebut harus memiliki moral yang tinggi (high moral characteristic). Ia juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan di negaranya untuk menduduki suatu jabatan kehakiman tertinggi, ia harus pula diakui kompetensinya dalam hukum internasional.
  • Statuta Mahkamah mensyaratkan bahwa pemilihan hakim tanpa memandang kebangsaan (nasionalitasnya), namun dalam pelaksanaan faktor kebangsaan sangat dominant karena pengangkatannya ditentukan oleh factor geografis.
  • Dalam praktik kebiasaan tak tertulis, hakim mahkamah menganut pembagian sebagai berikut :
    • 5 orang dari negara-negara Barat;
    • 3 orang dari negara-negara Afrika;
    • 3 orang dari negara-negara Asia;
    • 2 orang dari negara-negara Eropa Timur;
    • 2 orang dari negara-negara Amerika Latin;
    • Dari praktek tidak tertulis, 5 orang dari 5 negara anggota tetap Dewan Keamanan mrnduduki jabatan hakim dalam Mahkamah Internasional.
    • Hakim Mahkamah Internasional dipilih untuk jangka waktu 9 tahun, dan setelah itu dapat dipilih kembali.
    • Untuk menjaga kelangsungan suatu sengketa dalam hal seorang atau beberapa hakim telah memasuki masa tugasnya selama 9 tahun, maka Statuta mensyaratkan adanya pemilihan 5 orang hakim untuk bertugas selama 5 tahun secara interval (Pasal 13 ayat (1) Statuta Mahkamah).

2.     Hakim Ad Hoc
Seorang Hakim ad hoc diharuskan untuk mengucapkan sumpah seperti halnya seorang hakim yang dipilih suatu pihak yang hendak meminta hakim ad hoc. Ia harus mengumumkannya secepat mungkin niat tersebut. Peranan dan kedudukan Hakim ad hoc ini sama dengan perana dan kedudukan hakim biasa. Namun, dalam persyaratan kuorum hakim untuk mengambil putusan yaitu sebanyak 9 (Sembilan), tidaklah termasuk suara dari Hakim ad hoc ini.
3.     Chamber
Mahkamah dalam menyelesaikan sengketanya dapat memeriksa dengan seluruh anggotanya atau cukup dengan beberapa hakim tertentu yang dipilih secara rahasia, disebut Chamber. Putasan Chamber tetap dianggap sebagai putusan dari Mahkamah.
4.     The Registry
Adalah organ administratif Mahkamah, bertanggung jawab hanya pada mahkamah. Tugas utamanya memberi bantuan jasa di bidang administrative kepada negara-nrgara yang bersengketa dan juga berfungsi sebagai suatu sekretariat. Kegiatannya mengurusi masalah administratif, keuangan, penyelenggaraan konferensi dan jasa penerangan dari suatu organisasi internasional.
D.   Peranan Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional sebagai pengadilan internasional bertugas untuk mengadili perselisihan atau sengketa antara negara-negara anggota PBB yang dapat mengancam keamanan dan perdamaian dunia. Lembaga ini memiliki peran yang penting dalam menjaga perdamaian dunia. Peranan Mahkamah Internasional adalah
a.     Menerima persoalan atau persengketaan dari negara anggota PBB;
b.     Menyelesaikan persoalan atau persengketaan yang dapat mengancam perdamaian dunia;
c.      Memberikan usulan mengenai persoalan atau persengketaan internasional kepada Majelis Umum dan Dewan Keamanan.

o   Keputusan Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional dalam mengadili suatu perkara berpedoman pada berbagai perjanjian-perjanjian internasional, seperti traktat dan kebiasaan internasional. Perjanjian internasional tersebut menjadi sumber-sumber hokum dalam mengambil keputusan. Keputusan Mahkamah Internasional merupakan keputusan terakhir walaupun dapat dimintakan banding.
                   Selain pengadilan Mahkamah Internasional, terdapat juga pengadilan arbitrase internasional. Pengadilan arbitrase internasional hanya untuk perselisihan hukum dan keputusan para arbitet tidak perlu berdasar hukum.

o   Prosedur Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Mahkamah Internasional
Dalam menyelesaikan sengketa internasional,Mahkamah Internasional mendapatkan permintaan dari negara yang sedang telibat dalam persengketaan. Adapun untuk yuridiksi Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa pada umumnya bersifat Non – Compulory. Arinya, dalam pelaksanaan yuridiksi, Mahkamah Internasional memerlukan persetujuan pihak – pihak yang bersengketa.
          Menurut pasal 34 (1) Convenant liga Bangsa-bangsa menyatakan bahwa: “ Hanya negara-negara yang dapat menjadi pihak dalam perkara – perkara di muka Mahkamah”. Negara – negara itu secara jelas dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut.
1)  Kategori pertama, mencakup semua anggota PBB yang berdasarkan Pasal 93 (1) Charter PBB, ipso facto adalah peserta statuta mahkamah.
2)  Kategori kedua, negara – negara yang bukan anggota PBB yang menunjukkan hasrat bersosialisasi tetap dengan mahkamah dan menurut Pasal 93 (2) telah menjadi anggota statuta menurut syarat – syarat yang ditentukan dalam tiap-tiap kasus oleh Majelis Umum berdasarkan rekomendasi Dewan Keamanan.
3)  Kategori ketiga, meliputi negara-negara yang bukan anggota PBB, namun ingin tampil di hadapan mahkamah sebagai pihak-pihak yang bersengketa tanpa menjadi anggota spatuta.

Prosedur permohonan peradialan penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Internasional  dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1)  Prosedur permohonan peradilan penyelesaian sengketa kepada Mahkamah Internasional untuk negara-negara yang tidak tunduk pada “Compulsory Juridiction” Mahkamah Internasional. Permohonan tersebut biasanya dilakukan dengan cara memberitahukan adanya perjanjian khusus antar negara yang bersengketa tentang penyerahan penyelesaian sengketa mereka kepada Mahkamah Internasional. Daalm kondisi tersebut, permohonan peradilan untuk menyelesaikan sengketa juga dapat diajukan sepihak oleh salah satu negara yang bersengketa asalkan kemudian negara lawan memberikan persetujuan.
2)  Adapun untuk sengketa antarnegara-negara yang tunduk pada “Compulsory Juridiction”  Mahkamah Internasional, permohonan peradilan penyelesaian sengketa dapat diajukan sepihak oleh salah satu negara yang bersengketa. Permohonan itu disampaikan kepada Panitera Mahakmah Internasional. Panitera itu memberitahukan permohonan tersebut kepada negara lawan sengketa dan semua negara anggota Perserikatan Bangsa – Bangsa.

Sengketa intenasional dapat diselesaikan oleh Mahkamah Internasional dengan prosedur sebagai berikut.
1)  Telah terjadi pelanggaran HAM atau kejahatan kemanusiaan di suatu negara terhadap negara lain atau rakyat negara lain.
2)  Ada penagduan dari korban (rakyat) dan pemerintahan negara yang menjadi korban tehadap pemerintah dari negara yang bersangkutan karena didakwa telah melakukan pelanggaran HAM atau kejahatan kemanusiaan lainnya.
3)  Pengaduan disampaikan ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga –lembaga HAM internasional lainnya.
4)  Pengaduan ditindaklanjuti dengan penyelidikan, pemeriksaan, dan penyidiakn. Jika ditemui bukti-bukti kuat terjadinya pelanggaran atau kejahatan kemanusiaan lainnya, pemerintah dari negara yang didakwa melakukan kejahatan kemanusiaan dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.
5)  Dimulailah proses peradilan sampai dengan dijatuhkannya sanksi.


BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
·        Mahkamah Internasional merupakan mahkamah pengadilan tertinggi di seluruh dunia. Oleh karena itu, Mahkamah Internasional memiliki peran dalam mengadili perselisihan kepentingan dan hukum antara Negara-negara di dunia.
·        Komposisi Mahkamah Internasional terdiri atas Hakim Mahkamah Internsional, hakim Ad Hoch, Chamber, dan The Registry
·        Peranan Mahkamah Internasional adalah
a.     Menerima persoalan atau persengketaan dari negara anggota PBB;
b.       Menyelesaikan persoalan atau persengketaan yang dapat mengancam perdamaian dunia;
c.        Memberikan usulan mengenai persoalan atau persengketaan internasional kepada Majelis Umum dan Dewan Keamanan.
B.  Saran

·     Dalam memutuskan suatu pernasalahan, sebaiknya dilakukan dengan cara yang adil (tidak berat sebelah).
·     Dalam memberikan usulan, sebaiknya usulan yang bersifat membangun.
·        Dalam menangani suatu permasalahan, sebaiknya tidak membeda-bedakan baik dari segi meterial maupun nonmaterial.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar